Kontingen pertama pasukan Afrika yang ditempatkan di Mali telah mulai bergerak ke wilayah tengah negara itu, dimana tentara Prancis berusaha membantu militer Mali memukul mundur militan garis keras, kata Menteri Luar Negeri Prancis Laurent Fabius, Rabu.

"Sejumlah pasukan (Afrika) sudah mulai bergerak ke arah kota-kota wilayah tengah," kata Fabius kepada sebuah komite parlemen Prancis, lapor AFP.

Menurut Fabius, 1.000 prajurit dari negara-negara Afrika Barat dan Chad sudah berada di Bamako, ibu kota Mali, dan negara tetangga, Niger.

Ia tidak merinci berapa jumlah pasukan yang sedang bergerak ke garis depan konflik.

Fabius mengatakan, pasukan dari Chad akan sangat penting. "Mereka terbukti berkualitas dan mengetahui medan," katanya.

"Pasukan Afrika digelar lebih cepat daripada yang diperkirakan," kata Fabius. "Jelas ada kesulitan-kesulitan logistik, namun saya harus mengatakan bahwa saya melihat upaya sangat besar oleh teman-teman Afrika kita."

Prancis, yang bekerja sama dengan militer Mali, pada 11 Januari meluncurkan operasi ketika militan mengancam maju ke ibu kota Mali, Bamako, setelah keraguan berbulan-bulan mengenai pasukan intervensi Afrika untuk membantu mengusir kelompok garis keras dari wilayah utara.

Mali, yang pernah menjadi salah satu negara demokrasi yang stabil di Afrika, mengalami ketidakpastian setelah kudeta militer pada Maret 2012 menggulingkan pemerintah Presiden Amadou Toumani Toure.

Masyarakat internasional khawatir negara itu akan menjadi sarang baru teroris dan mereka mendukung upaya Afrika untuk campur tangan secara militer.

PBB telah menyetujui penempatan pasukan intervensi Afrika berkekuatan sekitar 3.300 prajurit di bawah pengawasan kelompok negara Afrika Barat ECOWAS. Dengan keterlibatan Chad, yang telah menjanjikan 2.000 prajurit, berarti jumlah pasukan intervensi itu akan jauh lebih besar.

Kelompok garis keras, yang kata para ahli bertindak di bawah payung Al Qaida di Maghribi Islam (AQIM), saat ini menguasai kawasan Mali utara, yang luasnya lebih besar daripada Prancis.

Militan garis keras Ansar Dine (Pembela Iman) merupakan salah satu dari sejumlah kelompok terkait Al Qaida yang mengusai Mali utara di tengah kekosongan kekuasaan akibat kudeta militer pada 22 Maret di wilayah selatan.

Ansar Dine menguasai Timbuktu, sementara Gerakan Keesaan dan Jihad di Afrika Barat (MUJAO) memerintah Gao, kota besar lain di Mali utara.

Kelompok-kelompok itu memberlakukan sharia di wilayah mereka dan berniat memperluas penerapan hukum Islam itu di kawasan lain Mali.

Muslim garis keras itu juga menghancurkan makam-makam kuno Sufi di Timbuktu, yang diklasifikasi UNESCO sebagai lokasi warisan dunia.

Mereka menganggap tempat-tempat keramat tersebut sebagai musyrik dan menghancurkan tujuh makam dalam waktu dua hari saja.

Mali pada 1 Juli mendesak PBB mengambil tindakan setelah kelompok garis keras menghancurkan tempat-tempat keramat di Timbuktu yang didaftar badan dunia itu sebagai kota yang terancam punah.

Pemberontak suku pada pertengahan Januari meluncurkan lagi perang puluhan tahun bagi kemerdekaan Tuareg di wilayah utara yang mereka klaim sebagai negeri mereka, yang diperkuat oleh gerilyawan bersenjata berat yang baru kembali dari Libya.

Kudeta pasukan yang tidak puas pada Maret dimaksudkan untuk memberi militer lebih banyak wewenang guna menumpas pemberontakan di wilayah utara, namun hal itu malah menjadi bumerang dan pemberontak menguasai tiga kota utama di Mali utara dalam waktu tiga hari saja.