BLOGGER INI MASIH DALAM TARAF RANCANGAN

Rabu, 23 Januari 2013

Calon Hakim Agung Daming Sunusi Minta Maaf atas Pernyataannya

Calon hakim agung Muhammad Daming Sunusi sebelumnya mengatakan bahwa korban dan pelaku pemerkosaan sama-sama menikmatinya sehingga tidak perlu ditindak secara tegas.

Calon hakim agung Muhammad Daming Sunusi akhirnya menyampaikan permohonan maaf atas pernyataannya yang tidak sensitif (foto:Saluran 88)
 
Calon hakim agung Muhammad Daming Sunusi Selasa malam akhirnya menyampaikan permohonan maaf atas pernyataannya yang tidak sensitif dalam sidang seleksi di DPR sehari sebelumnya, bahwa korban dan pelaku pemerkosaan sama-sama menikmatinya sehingga tidak perlu ditindak secara tegas.

Fenomena serupa sempat terjadi di Amerika, ketika senator dari negara bagian Missouri Todd Akins bulan Agustus lalu menyampaikan soal “legitimate rape”. Todd Akins akhirnya tersingkir dalam pemilihan senator. Akankah Sunusi mengikuti nasib Akins?

Dalam konferensi pers di Mahkamah Agung Selasa malam, calon hakim agung Muhammad Daming Sunusi mohon maaf atas pernyataannya itu. Ia mengaku khilaf, menyesali canda di luar batas kemanusiaan dan siap menerima resiko dari Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung.

Sebelumnya dalam sidang uji kepatutan dan kelayakan calon hakim agung di Komisi III DPR hari Senin, menjawab pertanyaan dari salah seorang anggota DPR tentang pemberian hukuman maksimal kepada pelaku pemerkosaan, Sunusi mengatakan hukuman maksimal itu tidak perlu karena pelaku dan korban perkosaan sama-sama menikmatinya.

Ironisnya anggota DPR yang ikut menyeleksi, bukannya mengecam pernyataan tersebut tapi malah ikut memberi komentar yang tidak sepantasnya. Martin Hutabarat – anggota Komisi III DPR dari Partai Gerindra – sebagaimana dikutip beberapa media di Indonesia, mengatakan bisa memahami pandangan Sunusi karena memang 50 persen perempuan di Jakarta tidak perawan lagi.

Kedua pernyataan ini langsung mendapat kritik tajam dari para aktivis perempuan di Indonesia. Lies Marcus – aktivis dan pejabat senior Asia Foundation mengatakan ini semua bermula dari pemikiran para pejabat publik Indonesia yang selalu memandang perempuan sebagai “objek seksual” semata, sehingga semua kebijakan, pernyataan hingga lelucon mengarah kesana.

“Menurut saya itu merepresentasikan cara berfikir yang sangat dominan dan umum terjadi di Indonesia, yang menganggap perempuan pada dasarnya adalah objek seks. Karenanya semua kebijakan yang dikeluarkan, seperti soal “kebijakan ngangkang” di Lhokseumawe, atau anggota DPR yang menyatakan “50 persen perempuan sudah tidak perawan sehingga dipertanyakan moralnya”, atau pernyataan calon hakim agung “hukuman mati tidak bisa dikenakan karena perempuan korban perkosaan ikut menikmati”, ini semua sama!. Mereka menilai perempuan adalah objek seks yang libidonya, hidupnya, nasibnya harus dikontrol,” kata Lies Marcus.

Sementara itu, Rahima Abdurrahim – Direktur Eksekutif Habibie Center menilai permohonan maaf saja tidak cukup untuk menyelesaikan kasus calon hakim agung Daming Sunusi.

“Calon hakim agung Sunusi sudah minta maaf, now what? Sekarang apa yang harus dilakukan?. Kita ingin dia mewujudkan pernyataannya sendiri bahwa ia peduli pada kasus perkosaan. Apakah dalam tugasnya sehari-hari sebagai kepala pengadilan tinggi Banjarmasin tetap peduli pada kasus perkosaan?. Atau sekedar lip-service karena terjepit kecaman media dan aktivis perempuan?. Lalu apakah pejabat-pejabat publik kita lainnya “belajar” dari kasus ini?.  Akankah masih ada pejabat publik yang bicara seperti ini nantinya? Yang pasti kasus ini menunjukkan masyarakat kita sudah makin pintar, perempuan Indonesia sudah makin pintar dan mereka tidak lagi bungkam,” ujar Rahima.

Fenomena Muhammad Daming Sunusi itu hampir sama dengan Todd Akins – wakil Partai Republik dari negara bagian Missouri, yang pada akhir Agustus lalu, hanya tiga bulan menjelang pemilu presiden Amerika, membuat pernyataan kontroversial seputar soal perkosaan.

Todd Akins mengatakan, perempuan yang diperkosa kemungkinan besar tidak akan hamil, karena jika hubungan seksual dilakukan secara paksa maka secara biologis tubuh perempuan akan menolak proses pembuahan. Tapi jika tidak dipaksa, maka akan terjadi pembuahan.

Pernyataan yang disampaikannya dalam wawancara dengan televisi lokal di Missouri pada akhir Agustus 2012 itu membuat sebagian pihak memintanya untuk mengundurkan diri dari pencalonannya untuk menjadi senator.

Senator John Cornyn dari negara bagian Texas yang juga merupakan ketua Komite Kampanye Partai Republik bagi Senat, secara pribadi meminta Todd Akins mundur. Sementara “Crossroad GPS” – kelompok advokasi Partai Republik yang telah menghabiskan lebih dari lima juta dollar bagi Todd Akins untuk berbagai kegiatan dan iklan kampanye agar dapat mengalahkan Senator Claire McCaskill dari Partai Demokrat – pesaing utama Akins di Missouri, akhirnya menarik dukungan dana dan organisasi bagi Akins.

Presiden Barack Obama – yang saat itu bertarung dalam pemilu – juga mengecam pandangan seperti itu. Dengan tegas ia mengatakan “perkosaan adalah perkosaan”. Lebih jauh Obama menambahkan “itulah sebabnya bukan politisi – yang mayoritas kaum laki-laki – yang harus mengambil keputusan tentang asuransi kesehatan bagi perempuan”.

Melihat kuatnya arus kecaman tersebut, Todd Akins akhirnya minta maaf atas kata-kata yang digunakannya, meskipun tetap berkeras bahwa aborsi dalam kondisi apapun juga – termasuk aborsi kehamilan akibat perkosaan – tetap tidak sah. Todd Akins akhirnya kalah dalam pemilihan senator di Missouri.

Akankah Muhammad Daming Sunusi mengikuti jejak Todd Akins?. Hingga berita ini diturunkan Sunusi hanya mengatakan menyerahkan nasibnya pada Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung, namun tidak menyatakan mundur dari pencalonan sebagai hakim agung.

Komisi Yudisial lewat pernyataan tertulis menyatakan akan segera memanggil Sunusi untuk dimintai keterangan soal pernyataannya yang dinilai melanggar kode etik dan pedoman perilaku hakim.

0 komentar:

Posting Komentar