BLOGGER INI MASIH DALAM TARAF RANCANGAN

Rabu, 23 Januari 2013

Pesawat tempur Dassault Rafale, Perang Mali dan Uni Emirat Arab

Jet tempur Dassault Rafale milik Perancis

Prancis memanfaatkan penyebaran jet tempur Dassault Rafale terhadap militan Islam di Mali untuk meningkatkan upaya guna meraih kesepakatan pembelian 60 pesawat multiguna tersebut dengan Uni Emirat Arab (UEA) dengan nilai $ 10 miliar dolar. Prancis jelas mengharapkan "petir akan menyambar dua kali."

Dassault (pabrikan Rafale) memenangkan kontrak pengadaan jet tempur untuk India pada Januari 2012. Nilai kontrak sebesar $ 11 miliar dolar untuk 126 Rafale. Sebelum kontrak ini disepakati, Prancis memimpin serangan NATO terhadap diktator Libya Moammar Gadhafi dengan menggunakan jet tempur Rafale pada 2012. Inilah "petir" yang pertama.

Kesepakatan dengan Rafale, adalah salah satu kesepakatan terbesar yang diperoleh oleh Dassault, sekaligus menjadi penyelamat bagi Dassault. Dassault sangat didukung oleh pemerintah Prancis, telah sejak lama berjuang mencari pembeli asing pertama untuk pesawat bersayap delta (segitiga) itu yang dikembangkan pada tahun 1980-an.

Pembeli Rafale sebelumnya tentu saja Angkatan Udara dan Angkatan Laut Prancis. Dalam kompetisi kesepakatan dengan India, Rafale mengalahkan Eurofighter Typhoon di fase final. Lockheed Martin F-16 dan Boeing F/A-18 telah gugur di fase sebelumnya.

Presiden Prancis, Francois Hollande (Menggantikan Sarkozy) beberapa waktu lalu memerintahkan Angkatan Udara Prancis untuk meluncurkan serangan terhadap pejuang jihad di Mali, sebuah negara di barat laut Afrika bekas jajahan Prancis. Jet tempur Rafale memimpin serangan itu, lepas landas dari sebuah pangkalan udara di selatan Prancis dan mendarat di Chad, negara lain di Afrika yang juga mantan jajahan Prancis.

Seperti sudah ditakdirkan, Hollande mengumumkan intervensi militer terhadap pejuang jihad Mali saat kunjungannya ke Abu Dhabi, lokomotif ekonomi kaya minyak dari UEA, selain memberikan dorongan diplomatik besar dan kuat untuk upaya Prancis memenangkan kontrak $ 10 miliar dolar. Prancis mendirikan pangkalan militer multi senjata di Abu Dhabi pada tahun 2010, satu-satunya pangkalan militer Prancis di Teluk Persia, memenangkan beberapa "brownies" di wilayah (UEA) di mana Amerika Serikat dan Inggris telah sejak lama menjadi pemasok senjata dominan.

Perjuangan Prancis untuk menjual Rafale -yang merupakan jet tempur bermesin ganda yang sangat tangkas dan menjadi standar industri kedirgantaraan Prancis- ke UEA telah dilakukan sejak tahun 2008 dan saingan satu-satunya yang tersisa adalah Boeing F/A-18. Enam negara anggota dari Dewan Kerjasama Teluk -Uni Emirat Arab, Arab Saudi, Kuwait, Qatar, Oman dan Bahrain- yang saat ini sedang menumpuk senjata untuk melawan Iran, diperkirakan akan kedepan akan menghabiskan biaya sekitar $130 miliar dolar.

Telah banyak lobi yang dilakukan Prancis ke UEA ketimbang raksasa industri pertahanan AS dan Inggris, sehingga "skor besar" di UEA akan diterima Prancis. Sebelumnya, pada tahun 1994, UEA menghabiskan $ 2,4 miliar dolar untuk 390 tank Leclerc dan 46 kendaraan lapis baja recovery yang dibangun oleh perusahaan Giat Industries, Prancis, sekarang dikenal sebagai Nexter.

Negosiasi untuk Rafale, untuk menggantikan jet tempur 68 Dassault Mirage 2000-9, yang dijual ke UEA pada akhir 1990-an. Prancis menemui hambatan besar pada bulan November 2010 ketika Abu Dhabi yang menangani pengadaan senjata untuk UEA -UEA adalah gabungan negara-negara bagian- mengkritik Dassault Aviation atas mahalnya harga jet Rafale. Ketika itu tampaknya Abu Dhabi ingin berbalik untuk Eurofighter Typhoon, seperti yang diketahui BAE Systems Inggris menjual 72 pesawat ini ke Arab Saudi dalam kesepakatan $ 7,2 miliar dolar yang selesai pada bulan September 2007.

Dassault tidak mampu memenuhi persyaratan harga dari Abu Dhabi, bahkan dengan tuntutan upgrade sistem yang setidaknya berkisar $ 2,6 juta dolar. Namun hal ini bisa diatasi dengan keberhasilan Rafale di India. Karena investasi besar dari India, Dassault kini lebih mungkin untuk memenuhi tuntutan UEA.

"Prancis, yang di masa lalu menjual frigat canggih ke Angkatan Laut Arab Saudi, tertarik dalam memperluas hubungan keamanan mereka dengan negara-negara GCC karena mereka melihat Prancis sebagai pemain regional yang setara dengan Inggris dan Amerika Serikat," kata Theodore Karasik, direktur riset di Institute for Near East Gulf Military Analysis di Abu Dhabi. "Jadi wajar jika adanya dorongan besar dari Prancis." Jika transaksi berjalan, yang dibayar UEA dari harga minyak yang tinggi, sektor industri pertahanan Prancis akan mendapatkan rejeki besar.

Jet tempur Rafale menggabungkan mesin Safran dan radar Thales, avionik dan perlengkapan peperangan elektronik, sementara MBDA, pembuat rudal, berharap penjualan Rafale akan juga berarti sebagai penawaran ekspor untuk sistem-sistem tersebut.


0 komentar:

Posting Komentar