Oleh : Mayor Inf Agus Harimurti Yudhoyono, M.Sc, MPA (Kasi-2/Operasi Brigif Linud 17 Kostrad)
“Adaptabilitas dan inovasi merupakan
kunci keberhasilan di era yang penuh dengan ketidakpastian… Kita harus
berani keluar dari zona kenyamanan untuk mentransformasi diri, dan maju
kedepan”
Warm Peace: Kompleksitas Dan Ketidakpastian Abad 21.
Dengan berakhirnya perang dingin dua
dekade silam, tidaklah berlebihan jika kita semua berharap bahwa dunia
akan semakin aman, dimana bangsa-bangsa dapat hidup tenang dan damai
berdampingan, tanpa harus terkotak-kotak atas dasar pertentangan
ideologi “kapitalisme vs. komunisme”. Namun sejarah berkata lain,
peristiwa 9/11 justru telah menyuguhkan pembuktian terbalik dari
ekspektasi tersebut. Euforia pergantian milenium, serta “headlines”
tentang pesatnya kemajuan teknologi diawal abad 21 sekejap sirna,
tergantikan oleh kampanye global melawan terorisme. Tak terelakkan upaya
Amerika Serikat dan aliansinya, yang seringkali membabi buta, dalam
memburu Osama Bin Laden dan Al-Qaeda telah melahirkan
ketegangan-ketegangan baru, yang berujung pada “clash of civilizations”
antara dunia barat dan dunia Islam.
Di samping itu, dunia yang
semakin padat dan terhubung dalam sebuah rezim globalisasi dan revolusi
informasi dewasa ini, selain telah menghadirkan berbagai peluang,
mengandung begitu banyak tantangan yang tidak sederhana. Globalisasi
menjadikan dunia seolah-olah “borderless”, menjamin terbukanya pasar
bebas, serta berkembangnya berbagai kegiatan, termasuk kejahatan
transnasional. Sedangkan 7 milyar manusia mengisyaratkan persaingan yang
semakin sengit dalam memperebutkan sumber daya yang tak tergantikan,
termasuk energi, pangan dan air. “Survival of the most competitive”
tidak hanya menjadi norma, tapi juga berpotensi melahirkan konflik antar
negara, termasuk konflik bersenjata antar militer di berbagai kawasan.
Kita juga masih menyaksikan
sejumlah konflik tradisional di berbagai belahan dunia, seperti di
Semenanjung Korea, Kashmir dan Israel-Palestina; proliferasi senjata
pemusnah masal, baik oleh negara maupun aktor bukan negara; serta
“intra-state conflict” atas dasar etnisitas dan agama. Di sisi lain,
krisis ekonomi yang berkepanjangan, dan gelombang reformasi politik yang
berakhir pada “civil war” di sejumlah negara di Afrika Utara dan Timur
Tengah, juga telah menambah daftar panjang karakteristik era “warm
peace”, sebuah era dimana situasi dunia tidak dalam keadaan perang (ala
Perang Dunia I dan II), namun belum sepenuhnya aman dan damai.
0 komentar:
Posting Komentar